Inseminasi buatan menjadi permasalahan hukum dan etis moral
bila sperma/sel telur datang dari pasangan keluarga yang sah dalam hubungan
pernikahan. Hal ini pun dapat menjadi masalah bila yang menjadi bahan pembuahan
tersebut diambil dari orang yang telah meninggal dunia. Permasalahan yang
timbul antara lain adalah :
1. Bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan
melalui proses inseminasi buatan?
2. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang
tua biologisnya? Apakah ia mempunyai hak mewaris?
3. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan
surogate mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua
biologisnya? Darimanakah ia memiliki hak mewaris?
Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan
(Bayi Tabung)
Jika benihnya berasal dari Suami Istri
· Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri
maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai status
sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki
hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
· Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di
saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300
hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun
jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami
ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami
ibunya. Dasar hukum ps. 255 KUHPer.
· Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan
penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No.
1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat
menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau
dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan
tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai
dengan ps. 1320 dan 1338 KUHPer.)
Jika salah satu benihnya berasal dari donor
· Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel
telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan
setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang
dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan
keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes
golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum ps. 250 KUHPer.
· Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil
tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer.
Jika semua benihnya dari donor
· Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang
tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim
seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai
status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh
seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
· Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak
tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak
terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula
anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur
berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai
anaknya.
Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di
Indonesia terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program fertilisasi-in-vitro
transfer embrio ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan
tidak dapat meng-cover kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan yang ada khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan
pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya. Secara
khusus, permasalahan mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal
dari orang yang sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum ada
penyelesaiannya di Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur penerapan teknologi
fertilisasi-in-vitro transfer embrio ini pada manusia mengenai hal-hal apakah
yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang.
Mantef artikelnya bang,salut pokoknya aku.
BalasHapusThanks buat supportnya sob.. :)
Hapusikut nyimak ajha gk mudeng saya tentang ini
BalasHapuskunjungan perdana
salam kenal
Selamat datang di blog ini.. :D
Hapussalam kenal juga..
-infosemata-
wah.. lain waktu ya sobat.. hehe..
BalasHapus-Infosemata-