Latar belakang
Rumah
sakit menyelenggarakan upaya kesehatan tidak hanya melaksanakan upaya kesehatan
kuratif dan rehabilitatif, tetapi seiring dengan perkembangan teknologi dan
ilmu pengetahuan serta sosial budaya diperlukan juga pelayanan preventif dan
promotif.
Pemberian
antibiotika merupakan pengobatan utama dalam penatalaksanaan penyakit infeksi.
Adapun manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu diragukan lagi, akan tetapi
penggunaannya yang berlebihan akan segera diikuti dengan munculnya kuman kebal
antibiotik, sehingga manfaatnya akan berkurang.
Penggunaan
antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan
ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik. Resistensi
kuman terhadap antibiotik, terlebih lagi multi drug resistance merupakan
masalah yang sulit diatasi dalam pengobatan pasien. Hal ini muncul sebagai
akibat pemakaian antibiotik yang kurang tepat dosis, macam dan lama pemberian
sehingga kuman berubah menjadi resisten. Hal ini mengakibatkan layanan
pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun mortalitas
pasien dan meningkatnya biaya perawatan kesehatan.
Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak
ditemukan di seluruh dunia, yaitu Methicillin-Resistant Staphylococcus
Aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), Penicillin-
Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan Extended-Spectrum
Beta-Lactamase (ESBL), Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii dan
Multiresistant Mycobacterium tuberculosis.
Di
negara yang sudah maju 13-37% dari seluruh penderita yang dirawat di RS
mendapatkan antibiotik baik secara tunggal atau kombinasi, sedangkan di negara
berkembang 30-80% penderita yang dirawat di RS mendapatkan antibiotik dan
penggunaan antibiotik yang tidak rasional sangat banyak dijumpai baik di negara
maju maupun berkembang. Hasil penelitian dari studi Antimicrobial Resistence
in Indonesia tahun 2000 – 2004 menunjukan bahwa terapi antibiotik diberikan
tanpa indikasi di RSUP Dr Kariadi Semarang sebanyak 20-53% dan antibiotik profilaksis tanpa indikasi
sebanyak 43 – 81%.
Kebijakan
dan juga pedoman tentang penggunaan antibiotika di RSUP Sanglah Denpasar adalah
keputusan dari direktur utama tentang komitmen dan petunjuk untuk menerapkan
penggunaan antibiotika di RSUP Sanglah Denpasar, yang terdapat dalam pedoman
penggunaan antibiotika RSUP Sanglah Denpasar tahun 2012. Adapun kebijakan yang
digunakan di RSUP Sanglah Denpasar salah satunya adalah Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No 2406/MENKES/PER/2011 tentang Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik.
Konten/Isi kebijakan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No 2406/MENKES/PER/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik
& Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik merupakan kebijakan
yang ditetapkan di RSUP Sanglah Denpasar. Tujuan Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik menjadi panduan
dalam pengambilan keputusan penggunaan antibiotik. Dalam peraturan
tersebut dijelaskan mengenai prinsip-prinsip penggunaan antibiotik. Adapun
prinsip tersebut adalah:
1. Faktor-Faktor yang Harus
Dipertimbangkan pada Penggunaan Antibiotik:
·
Resistensi
Mikroorganisme Terhadap Antibiotik
·
Faktor
Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Pemahaman mengenai sifat
farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik sangat diperlukan untuk menetapkan
jenis dan dosis antibiotik secara tepat.
·
Faktor
Interaksi dan Efek Samping Obat
Pemberian
antibiotik secara bersamaan dengan antibiotik lain, obat lain atau makanan
dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek dari interaksi yang dapat
terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti penurunan absorpsi obat
atau penundaan absorpsi hingga meningkatkan efek toksik obat lainnya.
·
Faktor
Biaya
Peresepan
antibiotik yang mahal, dengan harga di luar batas kemampuan keuangan pasien
akan berdampak pada tidak terbelinya antibiotik oleh pasien, sehingga
mengakibatkan terjadinya kegagalan terapi. Setepat apapun antibiotik yang
diresepkan apabila jauh dari tingkat kemampuan keuangan pasien tentu tidak akan
bermanfaat.
2. Prinsip Penggunaan Antibiotik
Bijak (Prudent)
· Penggunaan antibiotik
bijak yaitu penggunaan
antibiotik dengan spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis
yang adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat.
· Kebijakan
penggunaan antibiotik (antibiotic policy)
ditandai dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan
antibiotik lini pertama.
· Pembatasan
penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman penggunaan
antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan
dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved
antibiotics).
· Indikasi
ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit
infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium
seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak
diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang
dapat sembuh sendiri (self-limited).
3. Prinsip Penggunaan Antibiotik
untuk Terapi Empiris dan Definitif
a. Antibiotik Terapi Empiris
·
Penggunaan
antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi
yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya.
b. Antibiotik untuk Terapi Definitif
·
Penggunaan
antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus
infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya.
·
Tujuan
pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau penghambatan
pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil
pemeriksaan mikrobiologi.
4.
Prinsip
Penggunaan Antibiotik Profilaksis Bedah
· Pemberian
antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara
klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah
terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi antibiotik di
jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk
menghambat pertumbuhan bakteri.
5. Penggunaan Antibiotik Kombinasi
·
Kombinasi
antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda dapat meningkatkan atau
mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotik.
·
Suatu
kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang bersifat aditif atau
superaditif. Contoh: Vankomisin secara tunggal memiliki efek nefrotoksik
minimal, tetapi pemberian bersama aminoglikosida dapat meningkatkan
toksisitasnya.
·
Diperlukan
pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan antibiotik untuk mendapatkan
kombinasi rasional dengan hasil efektif.
·
Hindari
penggunaan kombinasi antibiotik untuk terapi empiris jangka lama.
·
Pertimbangkan
peningkatan biaya pengobatan pasien.
Aktor
Pembuat kebijakan penggunaan
antibiotik rasional adalah Menteri Kesehatan Republik Indonesia, melalui
Peraturan Menteri RI Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/PER/XII/2011
tentang pedoman umum penggunaan antibiotik yang selanjutnya menjadi pedoman
peraturan penggunaan antibiotik rasional di RSUP Sanglah Denpasar. Beberapa pihak yang terkait dalam peraturan
ini antara lain adalah:
1. Menteri
kesehatan Republik Indonesia.
2. Pemda
dan pemkot
3. Rumah
sakit
4. Direktur
utama RSUP Sanglah Denpasar
5. Dokter,
apoteker, dan tenaga medis lainnya di RSUP Sanglah Denpasar
6. Pasien
di RSUP Sanglah Denpasar
7. Tim
PPRA (Pengendalian Resistensi Antimikroba)
8. Instalasi
Farmasi di RS
9. Standar
Pelayanan Medis atau SMF
10. Apoteker
11. KFT
(Komite Farmasi dan Terapi)
Konteks
Konteks
dalam hal ini mengacu pada faktor-faktor yang memiliki pengaruh pada kebijakan
kesehatan. Faktor- faktor tersebut meliputi faktor situasional, faktor
struktural, dan faktor budaya.
1. Faktor
situasional
Dari telaah dokumen yang berupa laporan dari KPPIRS , di RSUP
Sanglah Denpasar untuk periode Januari-Desember 2012 dilaporkan kejadian kasus
dengan MRSA adalah sebanyak 52 kasus. Terbanyak ditemukan di poliklinik Bedah
sebanyak 13 kasus (25%), Ruang rawat umum Angsoka 1, sebanyak 8 kasus (15%),
Ruang ICU 6 kasus (12%). Kejadian kasus MRSA kemungkinan disebabkan oleh
perilaku petugas dalam penerapan kepatuhan kebersihan cuci tangan yang masih
belum maksimal, pemakaian antibiotika yang tidak rasional, pasien mempunyai
riwayat MRSA yang tidak dilakukan skrening sebelumnya, atau merupakan MRSA
komunitas.
Kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotika di RSUP Sanglah
sudah ada, tetapi ada juga yang menyatakan belum disosialisasikan ke semua SMF
dan kepada petugas medis yang terkait dengan pelayanan dan perawatan pasien.
Demikian juga residen sebagai pemberi layanan terdepan belum disosialisasikan
tentang kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotika di rumah sakit.
sosialisasi kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotika di rumah sakit masih
masih belum optimal dilakukan, masih terbatas di tingkat tertentu pada
perwakilan SMF, instalasi, di tingkat komite medik. Sosialisasi dari SMF dengan
fasilitasi oleh tim PPRA dan KFT belum menyeluruh dilakukan dan belum
berkesinambungan. Keberadaan residen, dokter dan petugas medis lainnya di rumah
sakit terus mengalami perubahan, mereka yang berada di depan (front office)
sebagai pemberi layanan kesehatan dalam hal ini termasuk pemberian antibiotika.
2. Faktor
Struktural
Regulasi untuk menunjang penerapan berbagai langkah kebijakan
penggunaan obat rasional belum dipahami dengan baik. Regulasi yang ditetapkan
oleh pemerintah memberikan aturan-aturan dalam pengelolaan obat dari segala
aspek, seperti daftar obat esensial, promosi obat, registrasi obat, dan lain
sebagainya. Kementerian kesehatan membuat pedoman pelayanan kefarmasian untuk
terapi antibiotik, juga pedoman umum penggunaan antibiotik. Adapun dari segi
alokasi, besar alokasi yang dianggarkan pemerintah untuk penyediaan obat
esensial tampaknya masih kurang. Demikian pu;a dengan alokasi anggaran untuk
pelatihan dan pengadaan tenaga profesi kesehatan.
3. Faktor
Budaya
Proporsi MRSA yang banyak ditemukan di poliklinik bedah
kemungkinan disebabkan oleh pola hidup dan lingkungan pasien yang kurang
higienis, pasien tidak kontrol luka secara teratur, atau penggunaan jenis
antibiotika yang tidak rasional. Dari beberapa kasus tersebut terdapat faktor
risiko terjadinya MRSA seperti ada luka terbuka, infeksi yang lama, kasus
rujukan post operasi di RS lainnya, tindakan operasi, tindakan invasif. Riwayat
pemakaian antibiotika di rumah sakit lain sebelumnya tidak bisa di evaluasi, demikian
juga apakah kasus tersebut dengan CA-MRSA. Infeksi MRSA bisa terjadi karena
terjadi kontaminasi kuman MRSA di triage IRD saat masuk dan observasi.
Kemungkinan terjadi kontaminasi kuman MRSA di rumah sakit asal rujukan saat
prosess evakuasi. Kemungkinan terjadi kontaminasi silang kuman MRSA di ruang
perawatan di RSUP Sanglah seperti ruang operasi, ICU, NICU.
Analisa
Kebijakan
merupakan keputusan yang dimaksud untuk mengatasi permasalahan tertentu, atau
untuk mencapai tujuan tertentu, yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang
pelaku atau sekelompok pelaku. Analisis kebijakan merupakan penelitian sosial
terapan yang secara sistematis, berdisiplin, analitis, cerdas dan kreatif
dilakukan untuk mengetahui substansi dari kebijakan agar dapat diketahui secara
jelas informasi mengenai masalah-masalah yang mungkin timbul sebagai akibat
dari penerapan kebijakan.
Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 2406/MENKES/PER/2011 menjelaskan
mengenai pedoman umum penggunaan antibiotik yang diimplementasikan sebagai
kebijakan yang di RSUP Sanglah Denpasar. Didalam peraturan tersebut telah
dijalaskan secara detail mengenai penggunaan antibiotik yang rasional meliputi faktor-faktor
yang harus dipertimbangkan pada penggunaan antibiotik, prinsip penggunaan
antibiotik secara bijak, prinsip penggunaan antibiotik untuk terapi empiris dan
definitif, prinsip penggunaan antibiotik profilaksis bedah, dan prinsip penggunaan
antibiotik kombinasi. Tetapi dalam hal ini, implementasi kebijakan penggunaan
antibiotika di RSUP Sanglah Denpasar belum berjalan dengan baik. Ini terjadi
karena sosialisasi dari kebijakan penggunaan antibiotika ini belum berjalan
dengan baik, SDM termasuk tim atau komite seperti dalam Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba (PPRA), Pencegahan & Pengendalian Infeksi (PPI),
Komite Farmasi & Terapi (KFT), serta mikrobiologi klinik belum berjalan
dengan baik sesuai tugas, fungsi dan kewajibannya.
Selain
itu penerapan langkah-langkah intervensi sesuai rekomendasi WHO dalam rangka
peningkatan keberhasilan penggunaan obat termasuk antibiotika secara rasional
belum berjalan dengan baik juga, seperti penerapan panduan klinis atau SPM yang
belum dilakukan revisi secara berkala, pengawasan, audit, dan umpan balik
terhadap implementasi kebijakan penggunaan antibiotika rasional yang belum
dapat berjalan.
www.carakerja.net
www.carakerja.net
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAngesti Widipinasti
BalasHapusterimakasih Erysa telah memaparkan materi yang sangat menarik ini. Penggunaan antibiotik yang rasional memang masih menjadi kesukaran, tidak hanya oleh tenaga medis, namun juga pasien yang tidak menggunakan antibiotik sesuai anjurn. resiko yang paling berbahaya dari penggunaan antibiotik yang irasional adalah MRSA itu sendiri.
mungkkin dari pemaparan di atas saya ingin bertanya, bagaimana sebaiknya sosialisasi yang efektif bagi tenaga kesehatan terkait penggunaan antibiotik berdasarkan undang undang tersebut??